Sebuah Pengakuan

Dia menutup matanya, kemudian membuka kedua matanya. Menutup lagi. Membuka lagi. Menutup. Membuka.
"Ada apa, Sar?" tanyaku, menatapnya dengan penasaran.
Sarah tertawa. Tertawa dengan nikmat dan renyah. Tawanya menggema bukit-bukit. "Nggak ada apa-apa, Ray. Aku bosan." katanya.
Aku hanya mengangguk. "Kita bisa pergi kok kalo lo mau."
Dia menggelengkan kepalanya. "Ga usah, Ray."
Aku terdiam. Tidak mengerti kenapa dia memilih untuk diam disini kalau dia tau dia bosen. "Pindah aja yuk." ajakku.
"Ngga usah ah, enak disini. Adem." sebutnya. Kedua tangannya bergerak-gerak secara acak diatas udara.
Aku menyeringai. "Yaudah, kalo emang itu mau lo. Kedinginan gak?"
"Ngga kok." jawabnya.
Aku mengangguk. "Yaudah kalo lo kedinginan, bilang ya."
Dia mengangguk lucu.

Kami menatap pemandangan dalam diam. Pikiranku kemana-mana, tetapi berporos pada satu tema, pada satu sumber. Pikiranku melanglang buana seperti meteor-meteor yang bertubrukan dengan satu sama lain dari arah yang berbeda meskipun ujung-ujungnya menuju ke tempat yang sama. Pikiranku seperti aliran air di sungai-sungai, berasal dari mata air yang berbeda, tetapi menuju ke tempat yang sama, ke lautan biru lepas. Pikiranku selalu berujung-ujung ke dia. Sarah.
"Kenapa, Rayhan? Kok diem? Lagi mikirin apa?" katanya mengagetkanku.
"Ngga, ngga apa-apa. Lo kedinginan gak?" tanyaku dengan nada yang sedikit memaksa.
Dia tersenyum dan mengangguk. Aku melepaskan jaketku dan memberikan jaketku kepadanya. "Nih, pake aja."
"Makasih. Eh tapi kamu kedinginan gak? Ntar aku make eh kamu yang kedinginan, kan gak lucu." katanya.
Aku mengangguk. "Gak kok, pake aja. Gue kan udah biasa dingin."
Dia menjulurkan lidah. "Sok banget sih kamu. Mentang-mentang sempet tinggal di Aussie."
Aku tertawa ringan. "Nggak, bukan itu maksud gue, cuma kan emang gue sering tinggal di tempat dingin."
"Ih emangnya aku ngga? Aku kan sempet tinggal di Bogor, Rey."
"But that's besides the point, chikadee." kataku.
Dia cemberut. Lucu. "Ih. Rese."
Aku kembali tertawa. "Lo tuh yang rese, masa make jaket aja nggak mau, kalo lo sakit gimana?"
Dia terdiam. "Oh iya."
Aku semakin tertawa. Ketika aku sudah berhenti tertawa, aku tarik dia kepelukanku. "Gimana? Anget?"
Dia tersenyum malu dan mengangguk. Semakin lama aku peluk, semakin ia membenamkan badannya kepelukanku.
"Mau kemana abis ini, Sar?" tanyaku.
"Hmm... makan yuk? Kamu belom makan dari siang ya, Rey?" tanyanya.
"Mau makan dimana?"
Dia terdiam sejenak kemudian berkata, "Di rumah kamu aja yuk, Tante Risti ngga akan marah kan kalo aku nge-grecokin dapurnya?"
Aku tertawa, setelah bertahun-tahun mengenal keluargaku seperti keluarganya sendiri, ia masih malu-malu berada di keluargaku? Lucu. "Nggalah, lagian ngga usah masak juga lo udah ngeberantakin rumah gue."
"Ih jahat!" katanya sambil memukul tanganku dengan ringan.
Aku tertawa kembali. "Abis lo kalo ke rumah gue kayaknya segala macem dikeluarin, kayak anak TK aja."
"Ih tapi kan barang-barang di rumah lo emang seru, Ray." sangkalnya.
Aku tertawa. Lagi. Gampang banget dia membuatku tertawa. "Yaudah, jalan yuk sekarang."
Dia mengangguk kemudian berdiri. "Ayo."
Aku berdiri dan berjalan ke mobil dengannya.
"Gimana?" tanyaku.
"Gimana apanya?" tanyanya balik, dia terlihat benar-benar bingung.
"Mau gak?" tanyaku.
"Ih, bukannya emang udah?"
"Oh jadi selama ini..."
Dia terdiam. "Maksud kamu? Oh... aku salah ya, maaf deh."
"Nggak, nggak, maksud aku... aku kira... tapi bener kan? Mau kan."
"Iyalah." katanya dengan yakin.
"You sure you want to be my girl?"
"I thought I already am."
Aku tersenyum dan dia tersenyum balik.