Aku Terdiam

"Biarin yang kebates sama lautan dan kedaulatan, tetap di sana."

Pada waktu itu, aku sebenarnya tengah berbicara mengenai sesuatu mengenai kejadian politik internal di salah satu negara yang di belahan dunia lain. Namun, temenku, Bimo, tiba-tiba nyeletuk. Bukan hal aneh bagi dia untuk dapat menciptakan kalimat-kalimat puitis yang sudah dia praktekan kepada beberapa temen perempuannya––yang kebanyakannya ketemu dari beberapa grup pertemenanku––sebagai kata pemanis untuk menjadikan mereka sebagai salah satu "teman di kala malam" yang kerap kali tidak berujung baik, namun kalimat yang baru saja ia lontarkan kepadaku hampir membuatku tersedak.

Aku tidak tersedak, tetapi aku hampir memuncratkan air putih yang baru saja kuteguk.

Dia tertawa, senyumnya tipis. "Lo ngerti tapi, kan? Apapun yang kebates sama lautan dan kedaulatan, seharusnya gak perlu lo pikirin kalo gak nyambung sama apa yang terjadi sama lo sekarang. Kecuali emang lo dibayar untuk itu. Which I highly doubt karena lo masih di sini sekarang bareng gue buat nungguin kelas kita selanjutnya."

Aku tetap terdiam. Nasi uduk beserta lauknya yang kuidam-idamkan sejak kelas pagi Pak Ben kubiarkan mendingin di depanku, menjadi gumpalan yang tidak menarik bahkan seolah memualkan. Bukan salah Bu Eka, makanannya selalu nikmat dan seringkali harganya diturunkan dikarenakan aku sudah menjadi langganan warung kecilnya, namun makanan tersebut langsung terlihat asing bagiku. Aku mendadak ingin memuntahkan semuanya. "Kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu sih?"

"Emang lo maunya gue ngomong kayak apa?"

"Gak usah bangkit-bangkit apa yang seharusnya mati deh, Bim." ujarku. Meskipun aku tahu aku agak berbicara kasar kepadanya, namun nadaku datar dan pandanganku tertuju kepada motor yang berjejer di seberang warung Bu Eka.

"Masih gak bisa move on? Kenapa sih? Dia udah punya kehidupannya sendiri sekarang. Gelar pascasarjananya dia juga tinggal ditandatangan sama dosen di sana. Gak mungkin dia pack up and come home cuma karena lo ngerengek. Lo juga udah bisa hidup tanpa dia juga kan. He wasn't yours to begin with," nadanya tinggi, cara berbicaranya pun ketus, tetapi dia tidak mau menatapku. "Lo juga punya kehidupan lo sendiri. Lo bisa survive tanpa dia, gak perlu nungguin instruksi dia kayak apa yang temen-temen lo lakuin kalo mereka abis putus––atau mungkin karena lo gak pernah jadian, lo jadi lebih gampang untuk ngelepas dia. Terus mau lo kayak gimana? Gue gak bisa ngungkit sedikit aja tentang kedaulatan dan tetekbengek lainnya yang terkait tentang international affairs cuma karena dia lagi ngambil subject itu di sana? Apa gue gak boleh bicara pake bahasa Inggris juga karena dia sekarang lagi ngegunain bahasa itu di Amerika?"

"Kenapa lo malah marah-marah sama gue, Bim? Gue tadi cuma ngebahas tentang politik, kenapa malah harus ngungkit-ngungkit lagi sesuatu yang bikin gue gila dan nyesel?" aku mengamuk dan menangis pada saat yang bersamaan.

Dingin menyelimuti tubuhku, entah kedinginan apa ini yang aku rasakan sekarang, tetapi aku tidak pernah merasakan apapun seperti ini.

"Gue pengen lo buruan lupain dia. Putra udah nggak tinggal di Indonesia lagi! Dia bahkan udah siap-siap jadi wakil Indonesia buat Amerika. Lisa bakal dinikahin sama dia setelah dia dapet gelarnya. Kapan lo bakal nyadar itu semua?"

Aku menangis kejer. Air mata turun berlimpah lebih mudah daripada semua kata-kata yang sudah aku siapkan untuk kulontarkan ketika ada seseorang yang menyuruhku untuk melupakan Putra. Mataku sudah mulai terasa sembap, bibirku sudah mulai bengkak dikarenakan aku menggigitnya untuk menjaga agar aku tidak teriak. Rasa dingin yang kuderita di kulitku perlahan-lahan menyelinap ke perutku dan dadaku. Diikuti dengan rasa kekosongan yang besar––rasa kehilangan arah yang ekstrem. Apakah ini semua cuma aku yang mengalaminya? Aku yakin semua orang yang pernah merasakan kesakitan ketika ditinggali seslalu dapat merasakan hal ini, bukan? Rasa seperti seseorang mengambil jantungmu kemudian menggantikannya dengan kedinginan yang menusuk tulang dan kehampaan yang mengambil alih pikiranmu. Aku merasa kehilangan seseorang penting dari kehidupanku,  terlepas dari fakta bahwa aku menyadari aku telah mencintainya selama ini. Terlepas dari fakta bahwa ia dulunya adalah lelaki yang kujadikan support system.

Bimo menghela nafasnya. "Apa mungkin ini cuma misguided love yang lo rasain? Gak mungkin ini semua tuh cinta yang romantis. Mungkin lo cuma kehilangan panduan hidup tapi bukan hati lo. Bukan kehilangan sesuatu yang ngegerakin lo buat hidup. Bukan akal pikiran lo."

Apa yang Bimo katakan ada benarnya. Mungkin. Aku tidak tahu. Semua ini terlalu cepat dan terlalu banyak untuk aku cerna secara cepat. Sakit hatiku masih baru.

"Lihat baik-baik, Ella." ketika ia akhirnya menyebut namaku, aku mendongak. Menatap matanya yang terlalu sayu untuk ukuran mukanya yang terbilang lembut, meskipun antitesis yang kuat bagi badannya yang besar dan tinggi. Dia bagai paradoks berjalan. Terkadang auranya yang memperlihatkan bahwa ia adalah lelaki yang pendiam, padahal dia sebenarnya salah satu lelaki termanja yang pernah kukenal––sebenarnya dia adalah teman termanja yang aku punya. Mungkin bukan manja yang diartikan sebagai lelaki yang tidak mau melakukan apapun sendiri, namun manja yang memperlihatkan bahwa dia membutuhkan perhatian lebih dari orang lain. Khususnya aku. "Kapan lo bisa lihat kalo gue yang selama ini sayang sama lo. Kalo gue yang selama ini ada buat lo."



Aku terdiam, sudah tak lagi menangis.

Kemudian aku tertawa.

Dan menciumnya di hidung.